Sabtu, 14 September 2019

MEMBIASAKAN AKHLAK TERPUJI HUSNUZZAN, RAJA' DAN TOBAT


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Kata akhlak berasal dari dari bahasa arab khuluq yang jamaknya akhlak yang artinya  perangi atau budi pekerti. Ukuran akhlak itu baik atau buruk adalah motif  yang mendasari perbuatan dan tindakan dan adanya petunjuk yang mengatakan itu baik  berdasarkan firman Allah dan sabda Rasul saw. Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengerti benar tentang segala sesuatu tindakannya hanya mengharap ridha Allah SWT.
Akhlak merupakan masalah yang sangat penting dalam islam. Seseorang dapat dikatakan berakhlak ketika dia menerapakan nilai-nilai islam dalam aktifitas hidupnya. Jika aktifitas itu terus dilakukan berulang-ulang dengan kesadaran hati maka akan menghasilkan kebiasaan hidup yang baik. Akhlak merupakan perpaduan antara hati, pikiran, perasaan, kebiasaan yang membentuk satu kesatuan tindakan dalam kehidupan. Sehingga bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik, mana yang jelek dan mana yang cantik dan hal ini timbul dari fitrahnya sebagai manusia.
Hati nurani manusia selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Allah Swt.

2. Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari akhlak terpuji ?
2.      Apa saja yang termasuk akhlak terpuji ?
3.      Bagaimana penerapannya dalam kehidupan?
4.      Apa yang dimaksud husnuzan?
5.      Apa yang dimaksud  sisfat Raja?
6.      Apa yang dimaksud taubat?

3. Tujuan penulisan
1.      Bentuk penyelesaian tugas mata kuliah Ilmu Akhlak
2.      Menjelaskan akhlak terpuji dan macam-macam akhlak terpuji
3.      Mengetahui penerapan akhlak terpuji dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Memahami  yang dimaksud husnuzan?
5.      Memahami  yang dimaksud  sisfat Raja?
6.      Mengerti  aspek  taubat?
BAB II
PEMBAHASAN

MEMBIASAKAN AKHLAK TERPUJI HUSNUZZAN, RAJA' DAN TOBAT

A.    Membiasakan Akhlak Terpuji
1.      Pengertian Akhlak Terpuji
Akhlak terpuji disebut juga akhlakul kharimah atau akhlakul mahmudah, artinya segala macam perilaku atau perbuatan baik yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-qur’an da al-hadis.
Keutamaan akhlak terpuji disebutkan dalam hadist salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu dzar dari Nabi Muhammad saw, yang artinya:
“ wahai abu dzar! ‘maukah aku tunjukan dua hal yang sangat ringan dipunggung, tetapi sagat berat ditimbangan (pada hari kiamat kelak?)’, Abu dzar menjawab, ‘hendaklah kamu melakukan akhlak terpuji dan banyak diam. Demi Allah yang tanganku berada digenggamannya, tidak ada makhluk lain yang dapat bersolek dengan dua hal tersebut” (H.R Al-baihaqi)
Manusia sebagai makhluk yang berakhlak tentunya mempunyai kewajibankewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban itu adalah menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi akhlak yang buruk. Kewajiban inilah yang menjadi kekuatan moral dari terlaksananya akhlak yang baik dan terhindarnya dari akhlak
yang buruk
2.      Yang Harus Dilakukan Agar Terbiasa Berahklak Terpuji
a.       Harus dari kesadaraan diri masing masing
b.      Memberi salam kepada orang tua saat akan pegi maupun pulang dari keluar
c.       Sering membaca buku tentang tata kelakuan yang baik
d.      Ikut membantu dalam gotong royong agar lebih dapat mengenal tetangga dan dapat banyak belajar kehidupan lingkungan disekitarnya



B.     Macam- Macam Akhlak Terpuji
1.      HUSNUZAN
Pengertian 
Husnuzan secara bahasa berarti “berbaik sangka”  lawan katanya adalah su’uzan yang  berarti berburuk sangka. Husnuzan adalah cara pandang seseorang yang membuatnya melihat segala sesuatu secara positif, seorang yang memiliki sikap husnuzan akan mempertimbangkan segala sesuatu dengan pikiran jernih, pikiran dan hatinya bersih dari prasangka yang belum tentu kebenaranya. Husnuzan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Husnuzan kepada Allah, ini dapat ditunjukan dengan sifat tawakal, sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup.
2.      Husnuzan kepada diri sendiri, ditunjukan dengan sikap percaya diri dan optimis serta inisiatif
3.      Husnuzan kepada sesama manusia, ditunjukan dengan cara senang, berpikir positif dan sikap hormat kepada orang lain tanpa ada rasa curiga.

1.      Macam-Macam Husnuzan
Husnuzan Kepada Allah
Salah satu sifat terpuji yang harus tertanam pada diri adalah adalah sifat husnuzan kepada Allah, sikap ini ditunjukan dengan selalu berbaik sangka atas segala kehendak Allah terhadap hamba-Nya. Karena banyak hal yang terjadi pada kita seperti musibah membuat kita secara tidak langsung menganggap Allah telah tidak adil, padahal sebagai seorang mukmin sejati semestinya kita harus senantiasa menganggap apa yang ditakdirkan Allah kepada kita adalah yang terbaik.
Seseorang boleh saja sedih, cemas dan gundah bila terkena musibah, akan tetapi jangan sampai berlarut-larut sehingga membuat dirinya menyalahkan Allah sebagai Penguasa Takdir. Sikap terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan cara segera menata hati dan perasaan kemudian meneguhkan sikap bahwa setiap yang ditakdirkan Allah kepada hamba-Nya mengandung hikmah. Inilah yang disebut sikap husnuzan kepada Allah.
Sebagai seseorang mukmin yang meyakini bahwa Allah Maha Tahu atas apa yang terjadi terhadap hamba-Nya, karena itu kita semestinya berpikir optimis, yakin bahwa rahmat dan karunia yang diberikan Allah kepada manusia tidak akan pernah putus. Sebagaimana Firman Allah Swt :
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan rahnat ku meliputi segala sesuatu” (Q.S.Al-A’raf : 156).

2.      Husnuzan terhadap Diri Sendiri
Perilaku husnuzan terhadap diri sendiri artinya adalah berperasangka baik terhadap kemampuan yang dimilki oleh diri sendiri. Dengan kata lain, senantiasa percaya diri dan tidak merasa rendah diri di hadapan orang lain. Orang yang memiliki sikap husnuzan terhadap diri sendiri akan senantiasa memiliki semangat yang tinggi untuk meraih sukses dalam setiap langkahnya.

3.      Husnuzan terhadap Sesama Manusia
Husnuzan terhadap sesama manusia artinya adalah berprasangka baik terhadap sesama dan tidak meragukan kemampuan sesama muslim. Semua orang dipandang baik sebelum terbukti kesalahan atau kekeliruannya, sehingga tidak menimbulkan kekacauan dalam pergaulan.
Orang yang ber-husnuzan terhadap sesama manusia dalam hidupnya akan memiliki banyak teman, disukai kawan dan disegani lawan. Husnuzan terhadap sesama manusia juga merupakan kunci sukses dalam pergaulan, baik pergaulan di Sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarkat
Contoh Perilaku Husnuzan
1.      Husnuzan kepada Allah dan Sabar Menghadapi Cobaan-Nya
Berprasangka baik kepada Allah Swt. artinya menganggap qada dan qadar yang diberikan Allah adalah hal yang terbaik untuk hamba-Nya, karena Allah Swt. bertindak terhadap hamba-Nya seperti yang disangkakan kepada-Nya dll.
Cara menunjukkan sikap husnuzan kepada Allah swt adalah :
Senantiasa taat kepada Allah.
1.      Bersyukur apabila mendapatkan kenikmatan
2.      Bersabar dan ikhlas apabila mendapatkan ujian serta cobaan.
3.      Yakin bahwa terdapat hikmah di balik segala penderitaan dan kegagalan.

2.      Husnuzan kepada Diri Sendiri.
Husnuzan kepada diri sendiri adalah sikap baik sangka kepada diri sendiri dan meyakini akan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Husnuzan kepada diri sendiri dapat ditunjukkan dengan sikap gigih dan optimis. Gigih berarti sikap teguh pendirian, tabah dan ulet atau berkemauan kuat dalam usaha mencapai sesuatu cita-cita. Sedangkan optimis adalah sikap yang selalu memiliki harapan baik dan positif dalam segala hal. Manfaat sikap gigih adalah :
1.      Membentuk pribadi yang tangguh
2.      Menjadikan seseorang teguh pendirian dan tidak mudah terpengaruh
3.      Menjadikan seseorang kreatif.
4.      Menyebabkan tidak gampang putus asa dan menyerah terhadap keadaan

3.      Husnuzan kepada Sesama Manusia
Husnuzan kepada sesama manusia adalah sikap yang selalu berpikir dan berprasangka baik kepada sesama manusia.  sikap Husnuzan kepada manusia mengandung nilai dan manfaat sebagai berikut :
1.      Hubungan persahabatan dan persaudaraan menjadi lebih baik.
2.      Terhindar dari penyesalan dalam hubungan dengan sesama.
3.      Selalu senang dan bahagia atas kebahagiaan orang lain.

2.   RAJA’
A. Pengertian
Raja’ secara bahasa berasal dari bahasa arab, yaitu “Rojaun” yang berarti harapan atau berharap. Kata Raja’ (ﺮﺟﺎﺀ) berarti mengharapkan keridhaan Allah Swt dan rahmat darinya.
Sedangkan rahmat itu sendiri adalah segala karunia yang diberikan oleh Allah Swt kepada umatnya yang mendatangkan manfaat dan nikmat.
Raja’ yang dikehendaki oleh islam adalah mempunyai harapan kepada Allah untuk :
a.       Mendapatkan ampunannya
b.      Memperoleh kesejahteraan
c.       Memperoleh kebahagiaan di duna dan di akhirat
d.      Mengharap rahmat serta keridhaan Allah
Dari keempat harapan yang dianjurkan di dalam islam, anjuran keempat atau mengharapkan rahmat serta keridhaan Allah Swt-lah yang paling penting dan yang paling utama.
Raja’ termasuk akhlakul karimah (perbuatan terpuji) terhadap Allah Swt, yang manfaatnya dapat mempertebal iman dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Maksudnya :
Ketika seorang muslim/muslimah mengharapkan ampunan Allah Swt.
-          Berarti ia telah mengakui bahwa Allah Swt itu maha pengampun
Ketika seorang muslim/muslimah mengharapkan agar Allah melimpahkan kebahagiaan di dunia dan diakhirat.
-          Berarti ia telah meyakini bahwa Allah maha pengasih dan maha penyayang.
Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap muslim/muslimah senantiasa memperoleh ridha dan rahmat Allah Swt, sebagai bukti penghambaan kepada Allah. Allah swt berfirman:
 “.......berdoalah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu....” (Q.S Al-mu’min/40:60)

B. Kebalikan sifat Raja’
Raja’ (mengharapkan sesuatu) kepada Allah Swt haruslah disertakan dengan usaha dan kerja keras. Jika seseorang hanya berharap saja tanpa mau berusaha, hal ini disebut berangan-angan pada sesuatu yang mustahil atau yang disebut “Tamammi”.
Tamammi inilah yang menyebabkan seseorang berputus asa terhadap rahmat dan ridha Allah Swt. Sifat putus asa adalah kebalikan dari sifat raja’ yang sangat dilarang oleh Allah Swt.
Firman Allah Swt yang artinya :
“..... dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Swt. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah Swt, melainkan kaum yang kafir”. (Q.S Yusuf:87)
Orang yang berputus asa dari rahmat Allah Swt, berarti ia telah berprasangka buruk kepada Allah Swt. Kita selaku manusia tidak terlepas dari salah dan dosa, untuk itu kita wajib senantiasa berharap rahmat dan ampunan Allah Swt. Sebanyak dan sebesar apapun kesalahan dan dosa yang telah kita perbuat, kita tetap diperintahkan untuk mengharapkan ampunan dari Allah Swt.
C. Macam-macam Raja’
a.       Raja’ yang terpuji
Syaikh Al 'Utsaimin berkata:
"Ketahuilah, roja' yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja' tanpa disertai amalan adalah roja' yang palsu, angan-angan belaka dan tercela." (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
b.      Raja’ sebagai ibadah
Allah Swt berfirman yang artinya:
 "Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya." (QS. al-Israa': 57)
c.       Raja’ yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri
Syaikh Al 'Utsaimin rahimahullah berkata:
"Roja' yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah 'azza wa jalla. Memalingkan roja' semacam ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu..." (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)

D. Faktor munculnya sikap Raja’
1. Berpegang teguh kepada tali Agama Allah swt.
Dalilnya terletak pada Quran Surat Ali Imran ayat 103 :
Artinya :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S Ali Imran:103)
Mengharap kepada Allah swt agar dalam usaha atau kegiatannya dapat berjalan lancar, mendapatkan berkah serta mendapatkan ridha dari Allah swt.
Allah swt berfirman dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 110 :
Artinya :

“Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (Q.S Al-kahfi:110)

2. Merasa takut kepada Allah swt
Sikap takut ini disebut dengan Khauf. Secara bahasa khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, maka khauf berarti rasa takut. Secara istilah khauf adalah pengetahuan yang dimiliki seorang hamba di dalam hatinya tentang kebesaran dan keagungan Allah serta kepedihan siksa-Nya.

3.      Cinta kepada Allah Swt Yang Maha Penyanyang.
Sikap cinta ini disebut dengan Mahabbah. Dalam Q.S. Ali Imran ayat 31 Allah swt berfirman :
Artinya :
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Ali Imran:31)
4.      ciri sikap Raja’
a   Dalam berusaha (ikhtiar) seseorang akan mengawali dengan niat yang baik, yaitu karena Allah swt
b  Senantiasa berpikir positif dan dinamis, memiliki pengharapan yang baik bahwa usahanya akan berhasil, serta berani menghadapi resiko yang menghadang
c  Munculnya sifat ulet, pantang menyerah dalam menghadapi cobaan sehingga akan menjadikannya mampu berpikir kritis
d  Selalu bertawakal kepada Allah setelah usaha yang dilakukan. Ia sadar bahwa kewajiban manusia hanya berusaha dari Allah yang menentukan
e  Tidak lekas merasa puas atas apa yang diraih dan selalu berusaha meningkatkan diri
f  Jika ia menjadi orang yang berhasil, akan menyadari bahwa segala keberhasilannya berkat karunia Allah, ia tidak lupa untuk menafkahkan sebagian hasil jerih payahnya untuk beramal dan membantu mereka yang membutuhkan.
5.      Manfaat dan hikmah sikap Raja’
·         Memperoleh keridaan Allah
·         Terhindar dari perbuatan dosa
·         Mendapatkan kepuasan hidup
·         Mendekatkan diri kita pada Allah SWT
·         Sarana penyelesaian persoalan hidup
·         Memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
3.     TOBAT
1.      Hakekat Tobat
Kata taubat adalah terambil dari bahasa arab “taubatun”, kata tersebut berasal dari kata “taaba-yatubu-taubatun” yang artinya kembali. Orang yang taubat karena takut azab Allah disebut “taaibun” (isim fail dari taba). Orang bertaubat kepada Allah adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu: kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridhai-Nya,kembali dari saling bertentangan menuju saling menjaga persatuan, kembali kepada Allah setelah meninggalkan-Nya yang kembali taat setelah melanggar larangan-Nya.
2.      Hukum bertaubat
Bertaubat termasuk perkara yang diwajibkan dalam agama. Dengan bertaubat manusia akan berhenti dari berbuat dosa.Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun. Ia senantiasa memberi kesempatan kepada hambaNya yangmau memohon ampun atas segala dosa yang telah dia perbuat.Seperti dalam firman Allah dalam Q.S. An-Nuur Ayat 31 yang artinya:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“bertaubatlah kamu semua kepada Allah hai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”.
3. Penggolongan taubat
1.      Tobat Awam (tobat manusia umum),yaitu tobat manusia secara umum. Yang dimaksud ialah bahwa hati seseorang tunduk dikarenakan dirinya telah melakukan perbuatan salah dan dosa.
2.      Tobat Khawash (tobat orang-orang khusus), tobat tingkat ini sebagai pertanda meningkatnya makrifah manusia kepada Allah.
3.      Tobat Akhash Al-khawash, tingkatan tobat yang paling tinggi adalah tobat ini. Tobat rasulullah manakala dia berkata, “sesungguhnya ini adalah kebodohan pada hatiku, dan sesungguhnya aku akan memohon ampun kepada Allah sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari”. Dengan kata lain, untuk membersihkan hatinya dari menaruh perhatian kepada selain Allah, Rasulullah beristighfar kepada Allah.
4. Syarat-Syarat Taubat
Dalam kitab Majâlis Syahri Ramadhân, setelah membawakan banyak dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mendorong kaum Muslimin untuk senantiasa bertaubat dan beberapa hal lain tentang taubat, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin t mengatakan, “Taubat yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla adalah taubat nasuha (yang tulus) yang mencakup lima syarat:
Pertama : Hendaknya taubat itu dilakukan dengan ikhlas. Artinya, yang mendorong dia untuk bertaubat adalah kecintaannya kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungannya terhadap Allâh, harapannya untuk pahala disertai rasa takut akan tertimpa adzab-Nya. Ia tidak menghendaki dunia sedikitpun dan juga bukan karena ingin dekat dengan orang-orang tertentu. Jika ini yang dia inginkan maka taubatnya tidak akan diterima. Karena ia belum bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla namun ia bertaubat demi mencapai tujuan-tujuan dunia yang dia inginkan.
Kedua : Menyesali serta merasa sedih atas dosa yang pernah dilakukan, sebagai bukti penyesalan yang sesungguhnya kepada Allâh dan luluh dihadapan-Nya serta murka pada hawa nafsunya sendiri yang terus membujuknya untuk melakukan keburukan. Taubat seperti ini adalah taubat yang benar-benar dilandasi akidah, keyakinan dan ilmu.
Ketiga : Segera berhenti dari perbuatan maksiat yang dia lakukan. Jika maksiat atau dosa itu disebabkan karena ia melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia langsung meninggalkan perbuatan haram tersebut seketika itu juga. Jika dosa atau maksiat akibat meninggalkan sesuatu yang diwajibkan, maka dia bergegas untuk melakukan yang diwajibkan itu seketika itu juga. Ini apabila hal-hal wajib yang ditinggalkan itu bisa diqadha’, misalnya zakat atau haji.
Taubat orang yang terus-menerus melakukan perbuatan maksiat itu tidak sah. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa dia bertaubat dari perbuatan riba, namun dia tidak meninggal perbuatan ribawi itu, maka taubat orang ini tidak sah. Bahkanini termasuk mempermainkan Allâh Azza wa Jalla . Orang seperti ini, bukan semakin dekat kepada Allâh namun sebaliknya dia semakin jauh.  Begitu juga, misalnya ada orang yang menyatakan dirinya bertaubat dari meninggalkan shalat fardhu secara berjama’ah, namun dia tetap saja meninggalkan shalat ini, dia tetap tidak berjama’ah. Taubat orang ini juga tidak diterima.
Jika maksiat itu berkaitan dengan hak-hak manusia, maka taubatnya tidak sah  kecuali setelah ia membebaskan diri dari hak-hak tersebut. Misalnya, apabila maksiat itu dengan cara mengambil harta orang lain atau menentang hak harta tersebut, maka taubatnya tidak sah  sampai ia mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya apabila ia masih hidup, atau dikembalikan kepada ahli warisnya, jika telah meninggal. Apabila diketahui ia tidak memiliki ahli waris, maka harta itu diserahkan ke baitul mâl.
Dan apabila tidak diketahui pemilik harta yang diambilnya tersebut, maka ia sedekahkan harta tersebut atas nama pemiliknya.
Apabila dosa atau maksiat itu dengan sebab ghîbah (menggunjing) seorang Muslim, maka ia wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingnya itu, bila yang dighibah tahu, atau ia khawatir orang yang digunjing akan tahu. Jika tidak, maka cukup baginya dengan memohonkan ampunan untuk orang yang digunjing dan memujinya di tempat ia menggunjingnya dahulu. Karena sesungguhnya perbuatan baik akan menghilangkan keburukan.
Dan taubah seseorang dari dosa tertentu tetap sah, sekalipun ia masih terus-menerus melakukan dosa yang lain. Karena perbuatan manusia itu banyak macamnya, dan imannya pun bertingkat-tingkat. Namun orang yang bertaubat dari dosa tertentu itu tidak bisa dikatakan dia telah bertaubat secara mutlak. Dan semua sifat-sifat terpuji dan kedudukan yang tinggi bagi orang yang bertaubat, hanya bisa diraih dengan bertaubat dari seluruh dosa-dosa.
Keempat : Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang. Karena ini merupakan buah dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya.
Jika ia mengatakan telah bertaubat, namun ia masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu hari nanti, maka taubatnya saat itu belum benar. Karena taubatnya hanya sementara, si pelaku maksiat ini hanya sedang mencari momen yang tepat saja. Taubatnya ini tidak menunjukkan bahwa dia membenci perbuatan maksiat itu lalu menjauh darinya dan selanjutnya melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .
Kelima : Taubat itu dilakukan bukan pada saat masa penerimaan taubat telah habis.
Jika taubat itu dilakukan setelah habis waktu diterimanya taubat, maka taubatnya tidak akan diterima. Berakhirnya waktu penerimaan taubat itu ada dua macam: (Pertama,) bersifat umum berlaku untuk semua orang dan (kedua) bersifat khusus untuk setiap pribadi.
Yang bersifat umum adalah terbitnya matahari dari arah barat. Jika matahari telah terbit dari arah barat, maka saat itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi.
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
Pada hari datangnya sebagian ayat-ayat Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula).” [An-an’âm/6:158]
Maksud dari “sebagian ayat-ayat Rabbmu” dalam firman Allâh di atas adalah terbitnya matahari dari arah barat sebagaimana yang ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ تَزَالُ التَّوْبَةُ تُقْبَلُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا, فَإِذَا طَلَعَتْ طُبِعَ عَلَى كُلِّ قَلْبٍ بِمَا فِيْهِ وَكَفَى النَّاسَ الْعَمَلُ
Senantiasa taubat diterima sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya (dari arah  barat), maka jika dia terbit akan ditutup setiap hati (dari hidayah sehingga yang ada hanya) apa yang ada didalam hatinya (saja) dan cukuplah bagi manusia amalannya (sehingga dia tidak bisa beramal kebaikan lagi).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan sanadnya hasan.
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
Siapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya maka Allâh akan menerima taubatnya.[HR. Muslim]
Adapun yang bersifat khusus adalah saat kematian mendatangi seseorang. Ketika kematian mendatangi seseorang, maka taubat sudah tidak berguna lagi baginya dan tidak akan diterima. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Dan tidaklah taubat itu diterima Allâh dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. [An-Nisa/4:18]
Dalam hadits dari Abdullah bin Umar bin Khattab Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَالَمْ يُغَرْغِرْ
Sesungguhnya Allâh menerima taubat seorang hamba selama nyawanya (ruhnya) belum sampai tenggorokan. [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Beliau berkata hadits hasan)
Apabila taubat itu telah terpenuhi seluruh syaratnya dan diterima, maka Allâh akan menghapus dosa-dosa yang ia telah bertaubat darinya, sekalipun jumlahnya sangat banyak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Az-zumar/39:53]
Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang bertaubat; yang kembali dan berserah diri kepada Rabbnya.
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[An-Nisa/4:110]
Oleh karena itu, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa merahmati kita– hendaklah kita bersegera mengisi (sisa) umur kita dengan taubat nasuha kepada Rabb sebelum kematian menghampiri. Jika kematian  sudah menghampiri, kita tidak akan bisa menghindarinya.-Selesai perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah .


BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan

            Sudah selayaknya setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan bersikap dengan akhlak yang terpuji. Diantaranya husnudzon, taubat dan raja’. Karena taubat adalah suatu keniscayaan bagi manusia, sebab tidak ada satupun anak keturunan Adam AS di dunia ini yang tidak luput dari berbuat dosa. Selain itu, seharusnyalah kita selalu raja’(berharap) hanya kepada Allah SWT untuk mendapatkan rahmat dan rida-Nya. Karena raja’ menjadikan seseorang bersikap optimis, dinamis dan berpikir kritis.  Juga kita harus senantiasa husnudzon baik  Kepada Allah SWT, Diri Sendiri, keluarga, dan lainnya. Karena dengan husnudzon kehidupan kita akan selalu damai dan penuh kebahagiaan.
2.       Saran
    Sebagai umat pengikut Rasullulah tentunya jejak langkah beliau merupakan guru besar umat Islam yang harus diketahui dan patut ditiru,karena kata rasululah yang di nukilkan dalam sebuah hadist yang artinya “sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit mari kita terapkan akhlak terpuji yang telah kami jelaskan ini juga akhlak terpuji lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Agar hidup kita selalu damai dan penuh kebahagiaan.


DAFTAR PUSTAKA
Buku Paket Akidah Akhlak Klas X




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komentar sebelum copy paster Hak cipta dilindungi oleh Undang - Undang Bloger dan UUD 1945 Indonesia. Tema Sederhana. Diberdayakan oleh Blogger.

Kenangan Terindah Bersamamu

  MAKALAH FIQIH   Mudharabah Dan Murabahah             DISUSUN OLEH Kelompok V 1.     PARHAN 2.     MUH. JUNAEDIL ...