BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Kata akhlak berasal dari
dari bahasa arab khuluq yang jamaknya akhlak yang artinya perangi atau
budi pekerti. Ukuran akhlak itu baik atau buruk adalah motif yang
mendasari perbuatan dan tindakan dan adanya petunjuk yang mengatakan itu
baik berdasarkan firman Allah dan sabda Rasul saw. Jadi pemahaman akhlak
adalah seseorang yang mengerti benar tentang segala sesuatu tindakannya hanya
mengharap ridha Allah SWT.
Akhlak merupakan masalah
yang sangat penting dalam islam. Seseorang dapat dikatakan berakhlak ketika dia
menerapakan nilai-nilai islam dalam aktifitas hidupnya. Jika aktifitas itu
terus dilakukan berulang-ulang dengan kesadaran hati maka akan menghasilkan kebiasaan
hidup yang baik. Akhlak merupakan perpaduan antara hati, pikiran, perasaan,
kebiasaan yang membentuk satu kesatuan tindakan dalam kehidupan. Sehingga bisa
membedakan mana yang baik dan tidak baik, mana yang jelek dan mana yang cantik
dan hal ini timbul dari fitrahnya sebagai manusia.
Hati
nurani manusia selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti
ajaran-ajaran Allah Swt.
2. Rumusan masalah
1.
Apa pengertian dari akhlak terpuji ?
2.
Apa saja yang termasuk akhlak terpuji ?
3.
Bagaimana penerapannya dalam kehidupan?
4.
Apa yang dimaksud husnuzan?
5.
Apa yang dimaksud sisfat Raja?
6.
Apa yang dimaksud taubat?
3. Tujuan
penulisan
1.
Bentuk penyelesaian tugas mata kuliah Ilmu
Akhlak
2.
Menjelaskan akhlak terpuji dan macam-macam
akhlak terpuji
3.
Mengetahui penerapan akhlak terpuji dalam
kehidupan sehari-hari.
4.
Memahami
yang dimaksud husnuzan?
5.
Memahami
yang dimaksud sisfat Raja?
6.
Mengerti aspek taubat?
BAB II
PEMBAHASAN
MEMBIASAKAN
AKHLAK TERPUJI HUSNUZZAN, RAJA' DAN TOBAT
A.
Membiasakan Akhlak Terpuji
1.
Pengertian Akhlak Terpuji
Akhlak
terpuji disebut juga akhlakul kharimah atau akhlakul mahmudah, artinya segala
macam perilaku atau perbuatan baik yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus
didasarkan pada petunjuk al-qur’an da al-hadis.
Keutamaan
akhlak terpuji disebutkan dalam hadist salah satunya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu dzar dari Nabi Muhammad saw, yang artinya:
“
wahai abu dzar! ‘maukah aku tunjukan dua hal yang sangat ringan dipunggung,
tetapi sagat berat ditimbangan (pada hari kiamat kelak?)’, Abu dzar menjawab,
‘hendaklah kamu melakukan akhlak terpuji dan banyak diam. Demi Allah yang
tanganku berada digenggamannya, tidak ada makhluk lain yang dapat bersolek
dengan dua hal tersebut” (H.R Al-baihaqi)
Manusia
sebagai makhluk yang berakhlak tentunya mempunyai kewajibankewajiban yang harus
dipenuhi. Kewajiban itu adalah menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta
menjauhi akhlak yang buruk. Kewajiban inilah yang menjadi kekuatan moral dari
terlaksananya akhlak yang baik dan terhindarnya dari akhlak
yang buruk
2. Yang Harus Dilakukan Agar Terbiasa
Berahklak Terpuji
a. Harus
dari kesadaraan diri masing masing
b. Memberi
salam kepada orang tua saat akan pegi maupun pulang dari keluar
c. Sering
membaca buku tentang tata kelakuan yang baik
d. Ikut
membantu dalam gotong royong agar lebih dapat mengenal tetangga dan dapat
banyak belajar kehidupan lingkungan disekitarnya
B. Macam-
Macam Akhlak Terpuji
1. HUSNUZAN
Pengertian
Husnuzan
secara bahasa berarti “berbaik sangka” lawan katanya adalah su’uzan
yang berarti berburuk sangka. Husnuzan adalah cara pandang seseorang yang
membuatnya melihat segala sesuatu secara positif, seorang yang memiliki sikap
husnuzan akan mempertimbangkan segala sesuatu dengan pikiran jernih,
pikiran dan hatinya bersih dari prasangka yang belum tentu kebenaranya.
Husnuzan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1.
Husnuzan
kepada Allah, ini dapat ditunjukan dengan sifat tawakal, sabar dan ikhlas dalam
menjalani hidup.
2.
Husnuzan
kepada diri sendiri, ditunjukan dengan sikap percaya diri dan optimis serta
inisiatif
3.
Husnuzan
kepada sesama manusia, ditunjukan dengan cara senang, berpikir positif dan
sikap hormat kepada orang lain tanpa ada rasa curiga.
1.
Macam-Macam
Husnuzan
Husnuzan Kepada Allah
Salah satu sifat terpuji yang harus tertanam pada diri
adalah adalah sifat husnuzan kepada Allah, sikap ini ditunjukan dengan selalu berbaik
sangka atas segala kehendak Allah terhadap hamba-Nya. Karena banyak hal yang
terjadi pada kita seperti musibah membuat kita secara tidak langsung menganggap
Allah telah tidak adil, padahal sebagai seorang mukmin sejati semestinya kita
harus senantiasa menganggap apa yang ditakdirkan Allah kepada kita adalah yang
terbaik.
Seseorang boleh saja sedih, cemas dan gundah bila terkena
musibah, akan tetapi jangan sampai berlarut-larut sehingga membuat dirinya
menyalahkan Allah sebagai Penguasa Takdir. Sikap terbaik yang dapat dilakukan
adalah dengan cara segera menata hati dan perasaan kemudian meneguhkan sikap
bahwa setiap yang ditakdirkan Allah kepada hamba-Nya mengandung hikmah. Inilah
yang disebut sikap husnuzan kepada Allah.
Sebagai seseorang mukmin yang meyakini bahwa Allah Maha
Tahu atas apa yang terjadi terhadap hamba-Nya, karena itu kita semestinya
berpikir optimis, yakin bahwa rahmat dan karunia yang diberikan Allah kepada
manusia tidak akan pernah putus. Sebagaimana Firman Allah Swt :
وَرَحْمَتِي
وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Dan
rahnat ku meliputi segala sesuatu” (Q.S.Al-A’raf : 156).
2.
Husnuzan
terhadap Diri Sendiri
Perilaku husnuzan terhadap diri sendiri artinya adalah
berperasangka baik terhadap kemampuan yang dimilki oleh diri sendiri. Dengan kata
lain, senantiasa percaya diri dan tidak merasa rendah diri di hadapan orang
lain. Orang yang memiliki sikap husnuzan terhadap diri sendiri akan senantiasa
memiliki semangat yang tinggi untuk meraih sukses dalam setiap langkahnya.
3.
Husnuzan
terhadap Sesama Manusia
Husnuzan terhadap sesama manusia artinya adalah
berprasangka baik terhadap sesama dan tidak meragukan kemampuan sesama muslim.
Semua orang dipandang baik sebelum terbukti kesalahan atau kekeliruannya,
sehingga tidak menimbulkan kekacauan dalam pergaulan.
Orang yang ber-husnuzan terhadap sesama manusia dalam
hidupnya akan memiliki banyak teman, disukai kawan dan disegani lawan. Husnuzan
terhadap sesama manusia juga merupakan kunci sukses dalam pergaulan, baik
pergaulan di Sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarkat
Contoh
Perilaku Husnuzan
1.
Husnuzan
kepada Allah dan Sabar Menghadapi Cobaan-Nya
Berprasangka
baik kepada Allah Swt. artinya menganggap qada dan qadar yang diberikan Allah
adalah hal yang terbaik untuk hamba-Nya, karena Allah Swt. bertindak terhadap
hamba-Nya seperti yang disangkakan kepada-Nya dll.
Cara
menunjukkan sikap husnuzan kepada Allah swt adalah :
Senantiasa
taat kepada Allah.
1.
Bersyukur
apabila mendapatkan kenikmatan
2.
Bersabar
dan ikhlas apabila mendapatkan ujian serta cobaan.
3.
Yakin
bahwa terdapat hikmah di balik segala penderitaan dan kegagalan.
2.
Husnuzan
kepada Diri Sendiri.
Husnuzan
kepada diri sendiri adalah sikap baik sangka kepada diri sendiri dan meyakini
akan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Husnuzan kepada diri sendiri dapat
ditunjukkan dengan sikap gigih dan optimis. Gigih berarti sikap teguh
pendirian, tabah dan ulet atau berkemauan kuat dalam usaha mencapai sesuatu
cita-cita. Sedangkan optimis adalah sikap yang selalu memiliki harapan baik dan
positif dalam segala hal. Manfaat sikap gigih adalah :
1.
Membentuk
pribadi yang tangguh
2.
Menjadikan
seseorang teguh pendirian dan tidak mudah terpengaruh
3.
Menjadikan
seseorang kreatif.
4.
Menyebabkan
tidak gampang putus asa dan menyerah terhadap keadaan
3.
Husnuzan
kepada Sesama Manusia
Husnuzan
kepada sesama manusia adalah sikap yang selalu berpikir dan berprasangka baik
kepada sesama manusia. sikap Husnuzan kepada manusia mengandung nilai dan
manfaat sebagai berikut :
1.
Hubungan
persahabatan dan persaudaraan menjadi lebih baik.
2.
Terhindar
dari penyesalan dalam hubungan dengan sesama.
3.
Selalu
senang dan bahagia atas kebahagiaan orang lain.
2. RAJA’
A. Pengertian
Raja’ secara bahasa berasal dari bahasa arab, yaitu
“Rojaun” yang berarti harapan atau berharap. Kata Raja’ (ﺮﺟﺎﺀ) berarti mengharapkan keridhaan Allah Swt dan rahmat darinya.
Sedangkan rahmat itu sendiri adalah segala karunia yang
diberikan oleh Allah Swt kepada umatnya yang mendatangkan manfaat dan nikmat.
Raja’ yang dikehendaki oleh islam adalah mempunyai
harapan kepada Allah untuk :
a.
Mendapatkan ampunannya
b.
Memperoleh kesejahteraan
c.
Memperoleh kebahagiaan di duna dan di akhirat
d.
Mengharap rahmat serta keridhaan Allah
Dari
keempat harapan yang dianjurkan di dalam islam, anjuran keempat atau
mengharapkan rahmat serta keridhaan Allah Swt-lah yang paling penting dan yang
paling utama.
Raja’ termasuk akhlakul karimah (perbuatan terpuji)
terhadap Allah Swt, yang manfaatnya dapat mempertebal iman dan mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Maksudnya :
Ketika
seorang muslim/muslimah mengharapkan ampunan Allah Swt.
-
Berarti ia telah mengakui bahwa Allah Swt itu
maha pengampun
Ketika seorang muslim/muslimah mengharapkan
agar Allah melimpahkan kebahagiaan di dunia dan diakhirat.
-
Berarti ia telah meyakini bahwa Allah maha
pengasih dan maha penyayang.
Oleh
karena itu, sudah seharusnya setiap muslim/muslimah senantiasa memperoleh ridha
dan rahmat Allah Swt, sebagai bukti penghambaan kepada Allah. Allah swt
berfirman:
“.......berdoalah kepadaku, niscaya akan
kuperkenankan bagimu....” (Q.S Al-mu’min/40:60)
B. Kebalikan sifat Raja’
Raja’ (mengharapkan sesuatu) kepada Allah Swt haruslah
disertakan dengan usaha dan kerja keras. Jika seseorang hanya berharap saja
tanpa mau berusaha, hal ini disebut berangan-angan pada sesuatu yang mustahil
atau yang disebut “Tamammi”.
Tamammi inilah yang menyebabkan seseorang berputus asa
terhadap rahmat dan ridha Allah Swt. Sifat putus asa adalah kebalikan dari
sifat raja’ yang sangat dilarang oleh Allah Swt.
Firman Allah Swt yang artinya :
“..... dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah
Swt. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah Swt, melainkan kaum yang
kafir”. (Q.S Yusuf:87)
Orang yang berputus asa dari rahmat Allah Swt, berarti ia
telah berprasangka buruk kepada Allah Swt. Kita selaku manusia tidak terlepas
dari salah dan dosa, untuk itu kita wajib senantiasa berharap rahmat dan
ampunan Allah Swt. Sebanyak dan sebesar apapun kesalahan dan dosa yang telah
kita perbuat, kita tetap diperintahkan untuk mengharapkan ampunan dari Allah
Swt.
C. Macam-macam Raja’
a. Raja’ yang
terpuji
Syaikh Al 'Utsaimin berkata:
"Ketahuilah, roja' yang terpuji hanya ada pada diri
orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat
dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja' tanpa
disertai amalan adalah roja' yang palsu, angan-angan belaka dan tercela."
(Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
b. Raja’ sebagai
ibadah
Allah Swt berfirman yang artinya:
"Orang-orang yang diseru oleh mereka itu
justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka
yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya
dan merasa takut dari siksa-Nya." (QS. al-Israa': 57)
c. Raja’ yang
disertai dengan ketundukan dan perendahan diri
Syaikh Al 'Utsaimin rahimahullah berkata:
"Roja' yang disertai dengan perendahan diri dan
ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah 'azza wa jalla.
Memalingkan roja' semacam ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi
syirik ashghar dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang
berharap itu..." (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)
D. Faktor munculnya sikap Raja’
1. Berpegang teguh kepada tali Agama Allah swt.
Dalilnya terletak pada Quran Surat Ali Imran ayat 103 :
Artinya :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S Ali Imran:103)
Mengharap kepada Allah swt agar dalam usaha atau
kegiatannya dapat berjalan lancar, mendapatkan berkah serta mendapatkan ridha
dari Allah swt.
Allah swt berfirman dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 110 :
Artinya :
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang
manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (Q.S
Al-kahfi:110)
2. Merasa
takut kepada Allah swt
Sikap takut ini disebut dengan Khauf. Secara bahasa khauf
adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, maka khauf berarti rasa
takut. Secara istilah khauf adalah pengetahuan yang dimiliki seorang hamba di
dalam hatinya tentang kebesaran dan keagungan Allah serta kepedihan siksa-Nya.
3. Cinta
kepada Allah Swt Yang Maha Penyanyang.
Sikap
cinta ini disebut dengan Mahabbah. Dalam Q.S. Ali Imran ayat 31 Allah swt
berfirman :
Artinya :
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Ali Imran:31)
4.
ciri sikap Raja’
a Dalam berusaha (ikhtiar) seseorang
akan mengawali dengan niat yang baik, yaitu karena Allah swt
b Senantiasa berpikir positif dan dinamis,
memiliki pengharapan yang baik bahwa usahanya akan berhasil, serta berani
menghadapi resiko yang menghadang
c Munculnya sifat ulet, pantang menyerah dalam
menghadapi cobaan sehingga akan menjadikannya mampu berpikir kritis
d Selalu bertawakal kepada Allah setelah usaha
yang dilakukan. Ia sadar bahwa kewajiban manusia hanya berusaha dari Allah yang
menentukan
e Tidak lekas merasa puas atas apa yang diraih
dan selalu berusaha meningkatkan diri
f Jika ia menjadi orang yang berhasil, akan
menyadari bahwa segala keberhasilannya berkat karunia Allah, ia tidak lupa
untuk menafkahkan sebagian hasil jerih payahnya untuk beramal dan membantu
mereka yang membutuhkan.
5.
Manfaat dan hikmah sikap Raja’
·
Memperoleh
keridaan Allah
·
Terhindar
dari perbuatan dosa
·
Mendapatkan
kepuasan hidup
·
Mendekatkan
diri kita pada Allah SWT
·
Sarana
penyelesaian persoalan hidup
·
Memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
3. TOBAT
1. Hakekat
Tobat
Kata
taubat adalah terambil dari bahasa arab “taubatun”, kata tersebut berasal dari
kata “taaba-yatubu-taubatun” yang artinya kembali. Orang yang taubat karena
takut azab Allah disebut “taaibun” (isim fail dari taba). Orang bertaubat
kepada Allah adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu: kembali
dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah
menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang
dibenci Allah menuju yang diridhai-Nya,kembali dari saling bertentangan menuju
saling menjaga persatuan, kembali kepada Allah setelah meninggalkan-Nya yang
kembali taat setelah melanggar larangan-Nya.
2. Hukum
bertaubat
Bertaubat
termasuk perkara yang diwajibkan dalam agama. Dengan bertaubat manusia akan
berhenti dari berbuat dosa.Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun. Ia
senantiasa memberi kesempatan kepada hambaNya yangmau memohon ampun atas segala
dosa yang telah dia perbuat.Seperti dalam firman Allah dalam Q.S. An-Nuur Ayat
31 yang artinya:
وَتُوبُوا
إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“bertaubatlah
kamu semua kepada Allah hai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”.
3. Penggolongan taubat
1.
Tobat
Awam (tobat manusia umum),yaitu tobat manusia secara umum. Yang dimaksud ialah
bahwa hati seseorang tunduk dikarenakan dirinya telah melakukan perbuatan salah
dan dosa.
2.
Tobat
Khawash (tobat orang-orang khusus), tobat tingkat ini sebagai pertanda
meningkatnya makrifah manusia kepada Allah.
3.
Tobat
Akhash Al-khawash, tingkatan tobat yang paling tinggi adalah tobat ini. Tobat
rasulullah manakala dia berkata, “sesungguhnya ini adalah kebodohan pada
hatiku, dan sesungguhnya aku akan memohon ampun kepada Allah sebanyak tujuh
puluh kali dalam sehari”. Dengan kata lain, untuk membersihkan hatinya dari
menaruh perhatian kepada selain Allah, Rasulullah beristighfar kepada Allah.
4. Syarat-Syarat Taubat
Dalam kitab Majâlis Syahri Ramadhân, setelah membawakan banyak dalil dari
al-Qur’an dan as-Sunnah yang mendorong kaum Muslimin untuk senantiasa bertaubat
dan beberapa hal lain tentang taubat, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin t
mengatakan, “Taubat yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla adalah taubat nasuha
(yang tulus) yang mencakup lima syarat:
Pertama : Hendaknya taubat itu
dilakukan dengan ikhlas. Artinya, yang mendorong dia untuk bertaubat adalah
kecintaannya kepada Allâh Azza wa Jalla , pengagungannya terhadap Allâh,
harapannya untuk pahala disertai rasa takut akan tertimpa adzab-Nya. Ia tidak
menghendaki dunia sedikitpun dan juga bukan karena ingin dekat dengan
orang-orang tertentu. Jika ini yang dia inginkan maka taubatnya tidak akan
diterima. Karena ia belum bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla namun ia
bertaubat demi mencapai tujuan-tujuan dunia yang dia inginkan.
Kedua : Menyesali serta merasa
sedih atas dosa yang pernah dilakukan, sebagai bukti penyesalan yang
sesungguhnya kepada Allâh dan luluh dihadapan-Nya serta murka pada hawa nafsunya
sendiri yang terus membujuknya untuk melakukan keburukan. Taubat seperti ini
adalah taubat yang benar-benar dilandasi akidah, keyakinan dan ilmu.
Ketiga : Segera berhenti dari
perbuatan maksiat yang dia lakukan. Jika maksiat atau dosa itu disebabkan
karena ia melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia langsung meninggalkan
perbuatan haram tersebut seketika itu juga. Jika dosa atau maksiat akibat
meninggalkan sesuatu yang diwajibkan, maka dia bergegas untuk melakukan yang
diwajibkan itu seketika itu juga. Ini apabila hal-hal wajib yang ditinggalkan
itu bisa diqadha’, misalnya zakat atau haji.
Taubat orang yang terus-menerus melakukan
perbuatan maksiat itu tidak sah. Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa dia
bertaubat dari perbuatan riba, namun dia tidak meninggal perbuatan ribawi itu,
maka taubat orang ini tidak sah. Bahkanini termasuk mempermainkan Allâh Azza wa
Jalla . Orang seperti ini, bukan semakin dekat kepada Allâh namun sebaliknya
dia semakin jauh. Begitu juga, misalnya ada orang yang menyatakan dirinya
bertaubat dari meninggalkan shalat fardhu secara berjama’ah, namun dia tetap
saja meninggalkan shalat ini, dia tetap tidak berjama’ah. Taubat orang ini juga
tidak diterima.
Jika maksiat itu berkaitan dengan hak-hak
manusia, maka taubatnya tidak sah kecuali setelah ia membebaskan diri
dari hak-hak tersebut. Misalnya, apabila maksiat itu dengan cara mengambil
harta orang lain atau menentang hak harta tersebut, maka taubatnya tidak sah
sampai ia mengembalikan harta tersebut pada pemiliknya apabila ia masih
hidup, atau dikembalikan kepada ahli warisnya, jika telah meninggal. Apabila
diketahui ia tidak memiliki ahli waris, maka harta itu diserahkan ke baitul
mâl.
Dan apabila tidak diketahui pemilik harta yang
diambilnya tersebut, maka ia sedekahkan harta tersebut atas nama pemiliknya.
Apabila dosa atau maksiat itu dengan sebab ghîbah
(menggunjing) seorang Muslim, maka ia wajib meminta maaf kepada orang yang
digunjingnya itu, bila yang dighibah tahu, atau ia khawatir orang yang
digunjing akan tahu. Jika tidak, maka cukup baginya dengan memohonkan ampunan
untuk orang yang digunjing dan memujinya di tempat ia menggunjingnya dahulu.
Karena sesungguhnya perbuatan baik akan menghilangkan keburukan.
Dan taubah seseorang dari dosa tertentu tetap
sah, sekalipun ia masih terus-menerus melakukan dosa yang lain. Karena
perbuatan manusia itu banyak macamnya, dan imannya pun bertingkat-tingkat.
Namun orang yang bertaubat dari dosa tertentu itu tidak bisa dikatakan dia
telah bertaubat secara mutlak. Dan semua sifat-sifat terpuji dan kedudukan yang
tinggi bagi orang yang bertaubat, hanya bisa diraih dengan bertaubat dari
seluruh dosa-dosa.
Keempat : Bertekad untuk tidak
mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang. Karena ini merupakan buah
dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya.
Jika ia mengatakan telah bertaubat, namun ia
masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu hari nanti, maka
taubatnya saat itu belum benar. Karena taubatnya hanya sementara, si pelaku
maksiat ini hanya sedang mencari momen yang tepat saja. Taubatnya ini tidak
menunjukkan bahwa dia membenci perbuatan maksiat itu lalu menjauh darinya dan
selanjutnya melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla .
Kelima : Taubat itu dilakukan
bukan pada saat masa penerimaan taubat telah habis.
Jika taubat itu dilakukan setelah habis waktu
diterimanya taubat, maka taubatnya tidak akan diterima. Berakhirnya waktu
penerimaan taubat itu ada dua macam: (Pertama,) bersifat umum berlaku untuk
semua orang dan (kedua) bersifat khusus untuk setiap pribadi.
Yang bersifat umum adalah terbitnya
matahari dari arah barat. Jika matahari telah terbit dari arah barat, maka saat
itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi.
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ
آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ
أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا
مُنْتَظِرُونَ
Pada hari datangnya
sebagian ayat-ayat Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada
dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan
kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun
menunggu (pula).” [An-an’âm/6:158]
Maksud dari “sebagian ayat-ayat Rabbmu”
dalam firman Allâh di atas adalah terbitnya matahari dari arah barat
sebagaimana yang ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari
Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
لاَ تَزَالُ التَّوْبَةُ
تُقْبَلُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا, فَإِذَا طَلَعَتْ طُبِعَ
عَلَى كُلِّ قَلْبٍ بِمَا فِيْهِ وَكَفَى النَّاسَ الْعَمَلُ
Senantiasa taubat
diterima sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya (dari arah
barat), maka jika dia terbit akan ditutup setiap hati (dari hidayah sehingga
yang ada hanya) apa yang ada didalam hatinya (saja) dan cukuplah bagi manusia
amalannya (sehingga dia tidak bisa beramal kebaikan lagi).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan sanadnya
hasan.
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ
تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
Siapa yang bertaubat
sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya maka Allâh akan menerima
taubatnya.[HR.
Muslim]
Adapun yang bersifat
khusus
adalah saat kematian mendatangi seseorang. Ketika kematian mendatangi
seseorang, maka taubat sudah tidak berguna lagi baginya dan tidak akan
diterima. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ
لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ
قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ
أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Dan tidaklah taubat itu
diterima Allâh dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila
datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan :
“Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak (pula diterima taubat)
orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu
telah Kami sediakan siksa yang pedih. [An-Nisa/4:18]
Dalam hadits dari Abdullah bin Umar bin Khattab
Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ
تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَالَمْ يُغَرْغِرْ
Sesungguhnya Allâh
menerima taubat seorang hamba selama nyawanya (ruhnya) belum sampai
tenggorokan. [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Beliau berkata hadits hasan)
Apabila taubat itu telah terpenuhi seluruh
syaratnya dan diterima, maka Allâh akan menghapus dosa-dosa yang ia telah
bertaubat darinya, sekalipun jumlahnya sangat banyak. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
قُلْ يَا عِبَادِيَ
الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ
اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: “Hai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Az-zumar/39:53]
Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang
bertaubat; yang kembali dan berserah diri kepada Rabbnya.
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا
أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا
رَحِيمًا
Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada
Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[An-Nisa/4:110]
Oleh karena itu, semoga Allâh Azza wa Jalla
senantiasa merahmati kita– hendaklah kita bersegera mengisi (sisa) umur
kita dengan taubat nasuha kepada Rabb sebelum kematian menghampiri. Jika
kematian sudah menghampiri, kita tidak akan bisa menghindarinya.-Selesai
perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah .
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sudah
selayaknya setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan bersikap dengan
akhlak yang terpuji. Diantaranya husnudzon, taubat dan raja’. Karena taubat
adalah suatu keniscayaan bagi manusia, sebab tidak ada satupun anak keturunan
Adam AS di dunia ini yang tidak luput dari berbuat dosa. Selain itu,
seharusnyalah kita selalu raja’(berharap) hanya kepada Allah SWT untuk
mendapatkan rahmat dan rida-Nya. Karena raja’ menjadikan seseorang bersikap
optimis, dinamis dan berpikir kritis. Juga kita harus
senantiasa husnudzon baik Kepada Allah
SWT, Diri
Sendiri, keluarga, dan lainnya. Karena dengan husnudzon kehidupan kita
akan selalu damai dan penuh kebahagiaan.
2.
Saran
Sebagai umat pengikut Rasullulah tentunya jejak langkah beliau merupakan
guru besar umat Islam yang harus diketahui dan patut ditiru,karena kata
rasululah yang di nukilkan dalam sebuah hadist yang artinya “sesungguhnya aku
di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Oleh karena itu, sedikit demi
sedikit mari kita terapkan akhlak terpuji yang telah kami jelaskan ini juga
akhlak terpuji lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Agar hidup kita selalu
damai dan penuh kebahagiaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku Paket Akidah Akhlak
Klas X